Raden Ajeng Kartini Pahlawan Pergerakan Nasional

Raden Ajeng Kartini Pahlawan Pergerakan Nasional
Raden Adjeng Kartini (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 – meninggal di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur 25 tahun)

Berhubung hari ini adalah hari Kartini, Saya akan memberikan sekilan cerita tentang perjuangan R.A Kartini (Raden Ajeng Kartini).

Kartini tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena harus memasuki masa pingitan, sampai ada seorang pria yang melamar dan memperistrinya. Tetapi ia berhasrat besar menjadi seorang guru, seperti yang di tegaskanya: "saya ingin dididik menjadi guru. Ingin mencapai dua ijazah, yaitu ijazah guru rendah dan ijazah guru kepala. Lalu mengikuti kursus-kursus mengenai kesehatan, ilmu balut membalut, dan pemeliharaan orang sakit".

Guru yang di idamkan adalah yang mengajar "di samping ilmu pengetahuan, juga pengertian kasih dan keadilan....:". Atau menurut istilah yangf sering di gunakanya "pendidikan akhlak" disamping ilmu pengetahuan. Bila anak perempuan telah di cerdaskan, ia akan memiliki pandangan yang luas dan "akan datang juga kiranya keadan baru dalam duniaBumiputera". Menurut Kartini, dari perempuanlah manusia pertamatama menerima pendidikan, "Di pangkuan perempuanlah seorang mulai belajar merasa berpikir, dan berkata-kata".

Keprihatinan Kartini justru terletak pada rendahnya pendidikan para ibu yang seharusnya memberikan pendidikan itu. Dalam salah satu suratnya, ia mengatakan "bagaimana ibu ibu Bumiputera dapat mendidik anak-anaknya kalau mereka sendiri tidak berpendidikan? Dapai ia di persalahkan bahwa dia merusak anaknya, merusak masa depan yang disebabkan oleh kelemahan dan kebodohannya".

Kartini mengalami bagaimana tradisi itu membelenggu kebebasanya. Niatnya untuk melanjutkan sekolah ke Betawi atau Eropa, gagal. Adat tidak mengijinkan bagi kami, gadis-gadis untuk belajar, kata Kartini. Eropa dipandang sebagai sumber pengetahuan dan ilmu yang dapat di timbah. Hal itu merupakan akibat dari pergaulan akrabnya dengan para sahabatnya dari negri Belanda, seperti Ny. Abendanon Mandri, Ny. Van Kol-Porrey, Stella Zeehandelaar, Ny Ovink-Soer, dan Ny De Booy. Harapanya, setelah tamat belajar dan kembali ke Jawa. Kartini akan membuka asrama untuk puteri-puteri bangsawan. Ia berusaha keras agar permohonannya untuk pergi ke Eropa dapat terkabul.

Cita-cita untuk mendirikan sekolah bagi gadis-gadis Bumiputera amat didukung oleh Raden Mas Ario Sosrodiningrat, ayahnya. Tetapi sang ayah tetap tidak dapat melepaskan puterinya untuk pergi ke Eropa. Ayahya meskipun setuju dengan pemikiran Kartini, masih terkekang oleh tradisi  bahwa seorang perempuan  mesti kawin dengan pria yang menjadi pilihannya. Kalau anak perempunannya itu menuntut untuk segera mendapat izin belajar ke negeri Belanda, dia memandangi puterinya itu dengan sedih hati, seolah-olah mengatakan, "hendak cepat-cepat benar kamu meninggalkan Bapak?"

Ayah Kartini meyakinkan Mr. Abendanon bahwa "calon suami Kartini akan baik sekali kepadanya, menghargainya, dan turut merasakan serta menghayati cit-citanya. Mereka sepaham, dan di sisi suaminya, Kartini akan lebih baik dan lebih cepat lagi mewujutkan cita-citanya. "kepergianya ke Eropa juga tidak mendapat persetujuan dari Mr.Stijthoff, Residen. Semarang, kesan-kesan yang luar biasa banyaknya yang akan di perolehnya di sana, hanyalah akan membingungkan merekah saja. Dan keuangan ayah mereka terlalu jelek untuk membiayai pendidikan tersebut...".

Tetapi, gagasa untuk mendirikan pendidikan bagi perempuan sangat didukung residen itu. Dukungan itu sesuai dengan mood orang-orang Belanda yang di cetuskan oleh Conrad van Deventer dalam majalah De Gids. Tulisan itu menegasakan  bahwa orang Belanda berutang budi pada rakyat Hindia Belanda yang telah memasukan devisa negara begitu besar. Pemerintah kolonial harus mengembalikan "utang" sebesar 187 juta gulden dalam beberapa proyek kemanusiaan, salah satunya adalah pendidikan.

Dalam usaha pendidikan maka kaum perempuan akan menjadi sadar akan hak dan tanggung jawabnya. Mereka akan lebih mampu menempuh jalan hidupnya sendiri. Perempuan yang telah di cerdaskan oleh pendidikan, tidak akan sanggup hidup dalam "dunua nenek moyangnya". Mereka akan bangkit berjuang mematahkan belenggu itu. Perjuangan ini akan menghasilkan buah yang disebut Kartini sebagai persamaan hak yang telah terbayang diudara. Dia juga menyadari bahwa ketidaksamaan hak itu dikondisikan oleh belenggu kolonialisme Belanda. Sebagai anak muda yang berasal dari kalangan bangsawan, Kartini tidak buta terhadap berbagai kepincangan sosial yang terjadi. Hal itu memang di harapkan dari seseoarang dalam kedudukan itu, tetapi di zamanya tidak diharapkan datang datang dari seorang perempuan. Dalam kondisi seperti itu, Kartini tidak hanya mengamati secara pasif, tetapi ia justru menumbuhkan keyakinan dalam dirinya tentang hal-hal yng perlu di ubah di lingkungan sosialnya.

Bangsa Belanda, di mta Kartini, acap kali menertawakan dan mengejek bangsanya. Tetapi kalau Bumiputera mau mencoba memajukan diri, maka ancaman yang di dapat mereka. "kekeuasaan hanya ada pada penjajah", tegasnya. Dalam perjuangan itu, kaum perempuan tidak perlu berputus asa. Kartini menyatakan, "hidup itu terlalu indah, terlalu sedap untuk di hancurkan dengan ratap tangis akan hal-hal yang tidak dapat diubah".

Menjelang perkawinanya dengan Raden Mas Adipati Ario Djojoadiningrat, Bupati Rembang yang sudah beristri, Kartini sangat merasakan "hal-hal yang tidak dapat diubah itu". meskipun sahabatnya Stella Zeehandelaar tidak dapat memahami Kartini yang menerima lamaran Bupati Rembang itu. Tetapi Kartini berhasil melakukan tawar menawar yang menguntungkan bagi kedudukanya sebagai seorang perempuan. Ia diizinkan mendirikan sekolah untuk remaja puteri. Dengan suaminya, ia tidak memakai bahasa kromo inggil, seperti dilakukan para istri pada zamanya. Dalam upacara perkawinan, dia menghapuskan acara membasuh kaki suaminya.

Dalam menerima "nasib" itu Kartini menyadari bahwa zamanya belum memungkinkan bagi perwujudan cita-citanya secara penuh. "Berbuatlah sekehendak hati tuan, tetapi tuan tidak akan dapat menahan paksaan zaman juga".

Raden Ajeng Kartini Pahlawan Pergerakan Nasional

Sesudah melahirkan anaknya yang pertama Raden Mas Susalit, Kartini jatuh sakit dan menutup mata untuk selama-lamanya pada tanggal 17 September 1904. Kumpulan surat-suratnya dibukakan oleh para sahabatnya dengan judul Door Dulsternis tot Licht ("Habis Gelap Terbitlah Terang"). Dalam buku itu berbagai pemikiran, gagasan, dan cita-cita Kartini didokumentasikan yang hingga kini tetap menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.

Itulah sedikit cerita dari Raden Ajeng Kartini. Semoga menjadi inspirasi bagi kita semua. Bila ada tulisan yang salah  dari cerita ini admin mohon maaf yang sebesar-besarnya, cerita ini saya tulis dari beberapa buku yang telah saya baca.
Raden Ajeng Kartini Pahlawan Pergerakan Nasional Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Sam Sugeng

Posting Komentar